Senin, 27 April 2015

Sang Pemberi Kesan

Diposting oleh Unknown di 06.17

Sang Pemberi Kesan

Cuaca sore yang sendu. Hujan turun mengurungku disini, diteras depan rumahku, duduk termenung membuatku mengingat seorang yang ingin ku lupakan. Kenangan itu begitu indah, hingga aku tak kuasa tuk lupakannya. Oh, kenapa dia sih yang muncul di pikiranku !! .. Kenapa juga dia memberikan itu semua disaat terakhir .. uhh
Setidaknya membayangkan saat-saat itu mungkin lebih baik daripada hanya menyesalinya.
Lamunanku melayang ke waktu dimana aku dan dia bercengkerama sehari sebelum Ujian Nasional, belajar bersama dan tertawa bersama, dialah yang selalu membuatku tersenyum saat aku marah, sebel, sedih. Sorot matanya selalu bisa menenangkan aku .. Tiba-tiba sebuah suara membuyarkan lamunanku “Nin..!” suara seorang menyebut namaku dan tepat berdiri di depan teras rumahku. “Rama? Ngapain kamu hujan-hujanan? Masuk sini, nanti ka..” belum selesai aku bicara. “Tidak, sebelum kau menjawab pertanyaanku” selanya. “Apa? Pertanyaan apa? Bisakah kau kecilkan suaramu, nanti ibuku dengar”. Pintaku. “kalau begitu ayo ikut aku” paksanya. “tidak bisa!” mendengar ucapanku dia hanya diam, aku tau dia kecewa, tapi apa yang membuatnya seperti ini. Dia bukan Rama yang ku kenal biasanya, kenapa dia berubah, kenapa dia terlihat marah, apa salahku.
Kami berdua hanya terdiam, sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Tanpa kusadari Rama telah mendekatiku dan meraih tanganku, serambi berkata “Ikutlah denganku sebentar, aku takkan menyakitimu”. Akupun berdiri dan ikut berjalan disampingnya, tanpa payung, basah kuyup dibawah air hujan.


Sambil berjalan ia berkata, “Aku hanya ingin bersamamu”, aku tersentak mendengar apa yang barusan ia katakan. “Kenapa, ram? Bukannya selama ini kamu cuek denganku?” tanyaku tak percaya dengan apa yang dikatakannya. Tanpa menjawab ia mencium keningku. “Rama? Kenapa denganmu ini??!” elakku sambil melepaskan tangannya dari tanganku. Entah kenapa aku ingin menangis saat itu. Dia diam, tak menjawab pertanyaanku, aku semakin bingung dengan keadaan ini. “Rama jawab! Kenapa kau diam? Kenapa kamu seperti ini? Semakin lama ku kenal dirimu, semakin aku tidak paham jalan pikiranmu. Selama ini kamu gak pernah merespon perasaanku, kamu hanya permainkan aku, saat aku mulai jauh, kau selalu berusaha mendekat, tapi ketika aku dekat kau selalu acuhkan aku. Dan sekarang kau perlakukakn seperti ini, apa maksud dari semua ini?!!” aku tak kuasa lagi menahan emosiku, bercucurlah air mataku bercampur dengan air hujan. Dan lagi-lagi ia tak berkutik. Dan selama hampir 30 menit dia hanya diam, dan aku hanya menangis sambil melihat dia, kenapa dengan dia ini, dia bilang dia gak akan menyakitiku, tapi apa yang dia lakukan sekarang, dia hanya permainkan aku.

Menyesal aku mengikutinya, lebih baik aku pulang saja.

Belum jauh ku melangkah pergi, ia memanggilku kembali. “Nin, aku tau aku salah. Maafkan aku”. Sambil menoleh aku menjawab dengan nada sinis “Hanya itu??” belum dia menjawab aku sudah kembali berjalan meninggalkan dia. Aku terus berjalan sambil menangis tanpa berani menoleh kebelakang. Sesak hatiku melihat tingkahnya, aku semakin tidak mengerti. Kenapa? Kalau memang dia tak suka denganku, kenapa kau lakukan semua ini, seolah-olah kau mampu membalas semua rasaku padamu. Kenapa!! Kenapa!! Kenapa!! Semakin ku percepat langkahku, aku ingin segera sampai dirumah dan baru ku sadari aku telah berjalan jauh melewati rumahku. Oh apa yang aku pikirkan, sampai aku tak ingat letak rumahku.

Aku sudah lelah berjalan dan menangis, kuputuskan untuk duduk sejenak di kursi yang ada dipinggir jalan. Aku sadar hari sudah mulai gelap, jalan sepi tanpa ada satupun orang lewat, aku mulai merasa takut, tapi aku belum bisa mengatur hatiku yang sedang kacau saat ini. Oh Tuhan apa yang harus kulakukan sekarang.

Dengan sedikit berbisik “kenapa aku masih sayang padamu rama, padahal kau sudah benar-benar menyakitiku”

“Karena aku juga sayang padamu nin” suara itu mengejutkanku

“Rama? Apa? Apa yang barusan kau katakan? Aku tidak salah dengarkan?” tanyaku meyakinkan, hatiku berdebar-debar menantikan jawabannya, aku tak tau aku harus senang atau bagaimana, aku masih kesal, tapi aku senang mendengar perkataannya tadi, seakan aku bermimpi mendengar perkataan itu dari mulutnya.

“Aku tau selama ini aku menyakitimu, tapi bukannya kau tau, aku selalu menginginkan kau selalu tetap ada dalm hidupku” jelasnya

“tapi kau seakan tak membutuhkanku ram, bahkan kaupun punya kekasih” kataku menyanggah

“iya” dan lagi-lagi bukan jawaban yang aku inginkan dari dia.

“oke, sekarang aku paham. Kita sahabat, dan kita saling menyayangi, lalu kamu datang untuk meyakinkan itu agar aku gak salah paham dan kita tetep deket” pernyataan positif aja lah daripada aku sakit lagi. Toh dia tetap sama, PHP. “oke aku pulang ya, dingin banget, assalamualaikum”

“aku Cuma ingin lihat kamu nin” sambil memegang tanganku

“tapi aku sudah punya pacar, dan lo tau kan itu”

Dia menarikku, dan memelukku, aku menangis dipelukannya “Nin, aku gak mau kehilangan kamu”

“knapa ram? Kenpa tidak kaku katakan saat aku masih benar-benar menginginkanmu dulu? Kenapa sekarang setelah aku jadi milik yang lain? Dan kau sudah jadi milik orang lain?” sambil menangis

“Jodoh gak akan kemana nin, sekarang aku hanya kau ingin tau perasaan ku, kita jalani apa yang sudah ada, aku akan mengantarmu pulang”

“Okelah. Tapi aku tidak bisa pulang dengan keadaan basah kuyup seperti ini” sanggahku sembari menenangkan perasaanku.

“Baiklah, aku antar kau ke rumah Anggar, pinjamlah baju ke dia. Lalu kuantar kau pulang dan bilang pada ibumu kau barusan mangantarku ke rumah sakit” aku hanya menatapnya. “Aku memang baru dari rumah sakit untuk periksa kesehatanku” lanjutnya. Aku sedikit kaget mendengar itu, dia sakit apa? Kenapa dia harus periksa ke rumah sakit?. Pikiranku kacau kemana-mana tanpa berani aku menyakan kebenarannya. Aku merasa sangat khawatir dan sangat takut kehilangan dia.

“Anggar, apa kau tahu Rama sakit apa?” tanyaku sesampai di rumah Anggar. “Loh memangnya Rama sakit ? selama ini dia gak kenapa-kenapa kok?” Tanya balik Anggar ke aku kebingungan. Pikiranku semakin kacau, urgh apa sih yang ada dipikiran orang itu, apa yang dia sembunyikan.
Keesokan paginya, aku tengah bersiap untuk brangkat kuliah, namun ada yang janggal di jendela kamarku. Ada sekelopak bunga mawar putih yang terselip diantara dua daun jendela kamarku. Ku buka pelan-pelan jendelaku dan meraih bunga itu. Terdapat secarik kertas yang bertuliskan “Aku sayang kamu, datanglah ke Taman kota hari ini jam 3 sore. Luangkan waktumu sampai sebelum magrib. Pakailah baju berwarna merah”. Tanpa nama pengirim? Dari siapa ini? Haruskan aku menurutinya?. Tanpa berpikir panjang aku langsung menanyakaknya pada kekasihku. “Sayang, apa kau mengirim bunga untukku?” tanyaku penasaran tanpa membuatnya penasaran. “Tidak sayang, kenapa?” jawabnya lembut. “Oh tidak, aku hanya ingin mendapat bunga darimu saja” jawabku agar dia tak curiga. Lalu dari mana bunga itu? Otakku berpikir keras untuk memecahkan hal itu. Oh Tuhan cobaan apalagi ini.

Akhirnya kuputuskan untuk datang kesana. Tepat pukul 3 aku sudah duduk di taman kota dengan memakai baju warna merah. Tak ada tanda-tanda dari orang yang mengirimiku bunga. “yang benar saja, mungkin ini lelucon teman-teman” batinku sedikit kesal.

Betapa terkejutnya aku ketika seikat mawar putih jatuh ke pangkuanku. “Selamat sore sayang” suara itu? Langsung aku menoleh ke arah suara itu berasal. “Rama?”. Tanpa menjawab dia langsung berkata, “Aku mau kita bersenang-senang sore ini, seperti apa yang kau mau dulu.” “hah, dulu?” jawabku bingung. “Kamu ingin belibur bersamaku kan? Hanya berdua”. Aku bingung dan senang mendengar itu. Mungkin tanpa aku sadari aku tersenyum bahagia sambil menatap mukanya.
Sepanjang sore kuhabiskan waktu bersamanya, bercanda gurau, berfoto dan masih banyak lagi. Begitu senangnya aku sore itu. Dan tanpa kusadari jam telah menunjukkan waktu 17.25. “Aku harus pulang, Ram”. “Oke, kuantar ya. Besok pagi aku jemput lagi. Aku belum puas berdua denganmu” dengan tampang jahil dia menatapku, seolah-olah ada yang dirahasiakan untukku besok.

Rama lagi dan taman lagi, lalu apa yang beda dengan kemarin. Hanya waktu dan cara bertemu yang berbeda. Kursi taman dan suasana taman pagi yang menjadi setting berduaan kami kali ini, apa ya yang akan terjadi hari ini. Aku sudah tidak sabar. “Kamu sahabat terbaikku, Nin. Aku sangat bersyukur memilikimu” ungkapnya sendu. “Ram, sejahat dan secuek apapun, sejak dulu. Tak merubah sayangku padamu. Aku sangat bahagia bisa menjadi sahabatmu” balasku sepenuh hati.
Sambil memegang tanganku, “Besok, aku akan pergi ke Singapura.” Sejenak dia berhenti, aku tak mau menyelanya, aku hanya mau medengarkan dan mengetahui kebenarannya. Semakin erat genggamannya seakan dia tak rela meninggalkanku di Indonesia. “Aku pergi berobat untuk jangka waktu yang tidak bisa kupekirakan atau bahkan aku tak pulang kembali” lanjutnya dengan nada yang semakin melemah. Aku hanya bisa menangis mendengar apa yang ia katakan. Seharian, aku hanya duduk disampingnya menggenggam tangannya dan menangis dipelukkannya.

Kepergiannya tak dapat terelakkan, bandara Juanda, tempat terakhir aku melihatnya. “Selamat Tinggal Nindi, kuharap kita masih bisa berjumpa lagi. Aku sayang kamu” ucapnya sambil memeluk dan mencium keningku. Sejak saat itu Aku tak melihatnya lagi dan tak mendapat kabarnya lagi sampai 2 tahunpun berlalu tanpa kusadari……  

0 komentar:

Posting Komentar

 

Silvya Eka Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review